728x90 AdSpace

Latest News
Friday, May 15, 2015

Tikus Wirok

Masih saja aku duduk di bawah atap kecil yang di depannya terpampang papan bertuliskan “HALTE KUNINGAN”. Sekitar satu jam yang lalu aku berhenti, dengan maksud menghindari air mata langit yang mengucur deras. Di samping kananku, ada laki-laki setengah baya, berbaju kumel sedang menghisap rokok dan memijit keypad HPnya. Di samping kananku pun melakukan aktifitas yang sama, namun ia berpakaian rapi dan HPnya jauh lebih bagus daripada orang di samping kiriku.

Kiri dan kananku membisu, begitu juga aku, mulutku terasa kelu untuk membuka percakpan kepada kedua orang di sampingku. Mataku melihat langit, yang saat ini tengah diselimuti mendung tebal, dan ia tampak menangis karena kejailan mendung. “Kapan nih,redanya,” batinku dalam hati.

Jalanan yang tadinya dipenuhi berbagai kendaraan, kini terlihat sepi, hanya sesekali mobil pribadi dan bus kota meraung menerobos derasnya tangisan langit. Sesekali aku melihat jam, ternyata sudah jam 14.00 WIB, berarti aku sudah berteduh selama kurang lebih dua setengah jam. “Tuhan, hentikan hujan ini,” keluhku dalam hati. Aku semakin gelisah dengan keadaan, pasalnya jam tiga nanti, aku harus bertemu dengan anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Namun aku mencoba menenagkan diri, ku ambil sebungkus rokok yang tadi kubeli sebelum berangkat dari kampus. Ku buka bungkusnya, kemudian kuulur sebatang. Ku raba setiap sakuku dengan maksud mencari korek, tapi tampaknya aku memang lupa tidak membawa korek.

Orang disampingku diam-diam memperhatikan tingkaku, “Mau korek?” tanyanya.

“Iya Pak,” jawabku sambil mengambil kirek dan menyunggingkan senyum.

“Ini Pak, terimakasih,” kataku mengembalikan korek.

Ia hanya tersenyum, sebenarnya aku ingin membuka percakapan, tapi aku terasa enggan, ia terlalu sibuk dengan HP buntutnya.

***
Beberpa detik kemudian, mobil jeep, (seperti mobil para preman yang sering kulihat di TV) berhenti tepat di depan halte yang kumanfaatkan sebagai tempat berteduh saat ini. Pintu terbuka, kemudian disusul lelaki gondrong, berbadan besar, berkaos ketat, kelur dari mobil dengan paying ditangannya menuju arahku. Sebenarnya aku juga takut melihat mukanya yang terlihat garang. Semakin ia mendekat, hatiku semakin bergetar.

“Husssssss,,,,” ku hela nafas panjang. “Aman,” ucapku.

Lelaki garang tersebut ternyata menjemput dua orang yang berada di kanan dan kiriku.

Jam tidak pernah henti untuk berputar, mendung juga semakin kejam kepada langit, tak memberi ruang kepada langit untuk menatap kekasihnya, bumi. Begitu juga langit, ia menangis tersedu, hingga kekasihnya kebanjiran air matanya. Pikiranku pun tak mau kalah, rasa gelisah semakin membuat diriku ini ingin nekat menerobos pekatnya mendung dan tangisan langit. “Asu,” batinku.

Tak ada kegiatan lain selain memainkan asap rokok, sesekali asapanya kubuat bulat dengan memoncongkan mulut. Namun angin tampaknya tidak setuju dengan yang aku kerjakan, hal itu terlihat jelas, tatkala mulutku moncong ingin membuat bulat, angina langsung melibas habis, alhasil angina mengacaukan permainanku. Tapi itu tidak terlalu penting bagiku.

Mungkin angina bermaksud mengajakku bercengkerama. Ia meniup kencang air mata langit, sehingga butiran-butiran kecilnya nyasar ke permukaan muka dan sekujur tubuhku. Lama sudah aku menanti hujan reda, tapi tampaknya aku hanya bisa berharap, soalnya hujan semakin deras dan mendung semakin semangat menutup cahaya langit. Sore itu sangat seram dan mencekam. Semua kendaraan memilih untuk berhenti, jalanan sepi, jarak pandang hanya maksimal 30 cm. brtapa derasnya hujan sore itu. Yang tadinya aku sendirian di halte, sekarang sudah ditemani puluhan orang yang menggapitku. Raut muka mereka tampak panik, berbeda denganku yang menikmati kehangatan.

“Lihat….lihat…” kata seorang pemuda gemuk sambil menunjuk ke atas.

Semua orang, termasuk aku mencoba memfokuskan pengelihatanku ke arah ujung jari lelaki gendut tersebut. Aku tidak melihat apa-apa, mungkin angin kencang yang menyapu air mengaburkan pandanganku. Hingga akhirnya terdengar bunyi berdebam yang sangat kencang, “Burrr,,,,,”
Semua orang tampak panik, semuanya menyebut nama Tuhan masing-masing. Anehnya, setelah beberapa detik robohnya gedung bertingkat 50 itu, keadaan kembali normal, hujan berhenti, angina berhenti, hanya suara rintik air dari ataphalte yang terdengar, semuanya seakan membisu.

Namun, dari belakang halte terdengar jelas suara jeritan. Bukan hanya satu orang, melainkan puluhan, bahkan ratusan orang. Berteriak histeris, spontan aku dan juga orang-orang sekelilingku menoleh ke belakang, sungguh di luar dugaanku, gedung tepat dibelakang halte menari-nari, ke kanan dank e kiri, sepertinya ia mabuk. Kami pun segera menyelamatkan diri, mungkin saja gedung itu kepalanya berat, sehingga diprediksikan ia akan jatuh mencium tanah.

Semuanya lari, namun beberapa langkah aku berhenti, di halte masih ada nenek tua yang ditinggalkan anaknya begitu saja. Kulihat tajam mata nenek tua itu, matanya mengisyaratkan bahwa ia sangat membutuhkan pertolongan. “Sipa lagi kalau tidak aku,” batinku.

Aku pun kembali dan segera menggendong nenek tua bangka itu. Ku papah kedua tangannya, namun sial kaki nenek itu dirantai dan digembok di tiang halte. “Jancok,” batinku. Sungguh aku bingung harus bagaimana, jika aku lari nenk ini bisa dipastikan ketimpa gedung yang berdiri tinggi itu. Aku memejamkan mata, mencoba berpikri apa yang sebaiknya yang harus aku lakukan? Aku konsentrasi benar, hingga aku tak sadar jika gedung ini sebentar lagi roboh. Aku membuka mata, namun masih saja belum menemukan ide. Aku bingung dan….. “BRUUUUUUUUUUUUUUUAKKKKKKKKKKKKKKKK,,,,,” bunyinya sangat keras sekali,,,,,,,,

Aku tersadar, aku tertidur saat ini aku tengah buang air besar, dan gayung yang aku pegang tadi jatuh karena tertabrak “WIROK”, dan akhirnya nyawaku diselamatkan wirok.


Penulis: Cak Ibil
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 comments:

Post a Comment

Item Reviewed: Tikus Wirok Rating: 5 Reviewed By: Unknown