Masih saja aku duduk
di bawah atap kecil yang di depannya terpampang papan bertuliskan “HALTE
KUNINGAN”. Sekitar satu jam yang lalu aku berhenti, dengan maksud menghindari
air mata langit yang mengucur deras. Di samping kananku, ada laki-laki setengah
baya, berbaju kumel sedang menghisap rokok dan memijit keypad HPnya. Di samping
kananku pun melakukan aktifitas yang sama, namun ia berpakaian rapi dan HPnya
jauh lebih bagus daripada orang di samping kiriku.
Kiri dan kananku
membisu, begitu juga aku, mulutku terasa kelu untuk membuka percakpan kepada
kedua orang di sampingku. Mataku melihat langit, yang saat ini tengah
diselimuti mendung tebal, dan ia tampak menangis karena kejailan mendung.
“Kapan nih,redanya,” batinku dalam hati.
Jalanan yang tadinya
dipenuhi berbagai kendaraan, kini terlihat sepi, hanya sesekali mobil pribadi
dan bus kota meraung menerobos derasnya tangisan langit. Sesekali aku melihat
jam, ternyata sudah jam 14.00 WIB, berarti aku sudah berteduh selama kurang
lebih dua setengah jam. “Tuhan, hentikan hujan ini,” keluhku dalam hati. Aku
semakin gelisah dengan keadaan, pasalnya jam tiga nanti, aku harus bertemu
dengan anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Namun aku mencoba menenagkan diri, ku
ambil sebungkus rokok yang tadi kubeli sebelum berangkat dari kampus. Ku buka
bungkusnya, kemudian kuulur sebatang. Ku raba setiap sakuku dengan maksud
mencari korek, tapi tampaknya aku memang lupa tidak membawa korek.
Orang disampingku
diam-diam memperhatikan tingkaku, “Mau korek?” tanyanya.
“Iya Pak,” jawabku
sambil mengambil kirek dan menyunggingkan senyum.
“Ini Pak,
terimakasih,” kataku mengembalikan korek.
Ia hanya tersenyum,
sebenarnya aku ingin membuka percakapan, tapi aku terasa enggan, ia terlalu
sibuk dengan HP buntutnya.
***
Beberpa detik
kemudian, mobil jeep, (seperti mobil para preman yang sering kulihat di TV)
berhenti tepat di depan halte yang kumanfaatkan sebagai tempat berteduh saat
ini. Pintu terbuka, kemudian disusul lelaki gondrong, berbadan besar, berkaos
ketat, kelur dari mobil dengan paying ditangannya menuju arahku. Sebenarnya aku
juga takut melihat mukanya yang terlihat garang. Semakin ia mendekat, hatiku
semakin bergetar.
“Husssssss,,,,” ku
hela nafas panjang. “Aman,” ucapku.
Lelaki garang
tersebut ternyata menjemput dua orang yang berada di kanan dan kiriku.
Jam tidak pernah
henti untuk berputar, mendung juga semakin kejam kepada langit, tak memberi
ruang kepada langit untuk menatap kekasihnya, bumi. Begitu juga langit, ia
menangis tersedu, hingga kekasihnya kebanjiran air matanya. Pikiranku pun tak
mau kalah, rasa gelisah semakin membuat diriku ini ingin nekat menerobos
pekatnya mendung dan tangisan langit. “Asu,” batinku.
Tak ada kegiatan lain
selain memainkan asap rokok, sesekali asapanya kubuat bulat dengan memoncongkan
mulut. Namun angin tampaknya tidak setuju dengan yang aku kerjakan, hal itu
terlihat jelas, tatkala mulutku moncong ingin membuat bulat, angina langsung
melibas habis, alhasil angina mengacaukan permainanku. Tapi itu tidak terlalu
penting bagiku.
Mungkin angina
bermaksud mengajakku bercengkerama. Ia meniup kencang air mata langit, sehingga
butiran-butiran kecilnya nyasar ke permukaan muka dan sekujur tubuhku. Lama
sudah aku menanti hujan reda, tapi tampaknya aku hanya bisa berharap, soalnya
hujan semakin deras dan mendung semakin semangat menutup cahaya langit. Sore
itu sangat seram dan mencekam. Semua kendaraan memilih untuk berhenti, jalanan
sepi, jarak pandang hanya maksimal 30 cm. brtapa derasnya hujan sore itu. Yang
tadinya aku sendirian di halte, sekarang sudah ditemani puluhan orang yang
menggapitku. Raut muka mereka tampak panik, berbeda denganku yang menikmati
kehangatan.
“Lihat….lihat…” kata
seorang pemuda gemuk sambil menunjuk ke atas.
Semua orang, termasuk
aku mencoba memfokuskan pengelihatanku ke arah ujung jari lelaki gendut
tersebut. Aku tidak melihat apa-apa, mungkin angin kencang yang menyapu air
mengaburkan pandanganku. Hingga akhirnya terdengar bunyi berdebam yang sangat
kencang, “Burrr,,,,,”
Semua orang tampak
panik, semuanya menyebut nama Tuhan masing-masing. Anehnya, setelah beberapa
detik robohnya gedung bertingkat 50 itu, keadaan kembali normal, hujan
berhenti, angina berhenti, hanya suara rintik air dari ataphalte yang terdengar,
semuanya seakan membisu.
Namun, dari belakang
halte terdengar jelas suara jeritan. Bukan hanya satu orang, melainkan puluhan,
bahkan ratusan orang. Berteriak histeris, spontan aku dan juga orang-orang
sekelilingku menoleh ke belakang, sungguh di luar dugaanku, gedung tepat
dibelakang halte menari-nari, ke kanan dank e kiri, sepertinya ia mabuk. Kami
pun segera menyelamatkan diri, mungkin saja gedung itu kepalanya berat,
sehingga diprediksikan ia akan jatuh mencium tanah.
Semuanya lari, namun
beberapa langkah aku berhenti, di halte masih ada nenek tua yang ditinggalkan
anaknya begitu saja. Kulihat tajam mata nenek tua itu, matanya mengisyaratkan
bahwa ia sangat membutuhkan pertolongan. “Sipa lagi kalau tidak aku,” batinku.
Aku pun kembali dan
segera menggendong nenek tua bangka itu. Ku papah kedua tangannya, namun sial
kaki nenek itu dirantai dan digembok di tiang halte. “Jancok,” batinku. Sungguh
aku bingung harus bagaimana, jika aku lari nenk ini bisa dipastikan ketimpa
gedung yang berdiri tinggi itu. Aku memejamkan mata, mencoba berpikri apa yang
sebaiknya yang harus aku lakukan? Aku konsentrasi benar, hingga aku tak sadar
jika gedung ini sebentar lagi roboh. Aku membuka mata, namun masih saja belum
menemukan ide. Aku bingung dan….. “BRUUUUUUUUUUUUUUUAKKKKKKKKKKKKKKKK,,,,,”
bunyinya sangat keras sekali,,,,,,,,
Aku tersadar, aku
tertidur saat ini aku tengah buang air besar, dan gayung yang aku pegang tadi
jatuh karena tertabrak “WIROK”, dan akhirnya nyawaku diselamatkan wirok.
Penulis: Cak Ibil
0 comments:
Post a Comment