728x90 AdSpace

Latest News
Friday, May 15, 2015

Makam Suku Batak : Megah dan Mewah

Pada  pertengahan  Februari  2014, saya  berkesempatan  untuk  melihat  bentuk  makam  suku  Batak  di  Tanah  Samosir. Singkat  kata, pada  hari  keempat  tinggal  di  Pulau  Samosir, saya  menyusuri  Lumban  Suhi – Suhi   bersama  guide  sekaligus  ojek yang  mengantarkan  saya  kemana – mana, yakni  Bapak  Simanjuntak. Ia  mengantarkan  saya  menuju   Huta  Nainggolan  yang  terletak  di  selatan  Pulau  Samosir.

Salah satu makam yang berhasil saya potret di pinggir jalan

                Hal  menarik  lain  yang  bisa  saya  lihat  di  Nainggolan  adalah  makam  keluarga  yang  melekat  dengan  tradisi  suku  Batak. Makam  keluarga  tersebut  berjarak  sekitar  lima  meter  dari  jalan  raya. Sebenarnya, saya  tidak  menyangka  bahwa  bangunan  yang  kami  tandangi  adalah  makam. Pasalnya, bangunannya  megah  dan  cantik  sekali. Rupanya, bangunan - bangunan  megah  yang  saya  lihat  di  pinggir - pinggir  jalan  raya  sebagian  besar  adalah  makam. Padahal, saya  pikir  rumah  dari  petinggi - petinggi di  kawasan  Samosir. Bagaimana  tidak, bangunan  tersebut  tidak  seperti  pemakaman  umum  yang  saya  lihat  di  kota - kota  besar.

                Makam  tentunya  berkaitan  dengan  kematian. Bagi  Suku  Batak, kematian  adalah  bagian  dari  religi, sistem  kekerabatan, dan  stratifikasi  sosial. Religi  yang  dimaksud  oleh  Suku  Batak  berkaitan  dengan  roh  yang  ada  di  dalam  tubuh  manusia  sampai  roh  yang  telah  keluar  dari  tubuh  manusia. Kata  Pak  Simanjuntak, tiap  orang  Batak  memiliki  roh  atau  Tondi. Selain  Tondi, orang – orang  yang  memiliki  stratifikasi  sosial  tinggi  memiliki  roh  yang  bernama  Sahala. “Roh  Sahala  biasanya  dimiliki  oleh  raja, panglima  perang, dukun, atau  orang – orang  yang  disegani  oleh  masyarakat.

                Untuk  roh  yang  sudah  meninggalkan  jasadnya, Suku  Batak  menyebutnya  Begu. Begu  pun  masih  terbagi  menjadi  dua, yaitu  begu  jahat  dan  begu  baik. Begu  jahat  disegani  dan  begu  baik  dihormati. Suku  Batak  memiliki  banyak  cara  untuk  melakukan  pemujaan  pada  tiap  begu.

                Pak  Simanjuntak  berkata, karena  ia  masuk  dalam  suku  Batak  Karo, begu  yang  terbagi  dalam  Batak  Karo  terbagi  menjadi  empat. Begu  bayi  yang  masih  ada  di  dalam  rahim  ibunya, begu  yang  masih  tumbuh  gigi, begu  orang  yang  mati  dalam  usia  muda, dan  begu  orang  yang  mati  tidak  wajar.  Kadang  ada  suku  batak  yang  membaginya  menjadi  6, atau  hanya  3. “Ada  Batak  Mandailing, Batak  Toba, Batak  Pak  Pak, dan  lainnya,” jelas  Pak  Simanjuntak.

Tugu  atau  Makam?

Salah satu makam yang desainnya menyerupai rumah bolon

                Saya  pun  meniti  tangga – tangga  kecil  menuju  lantai  dua, menuju  teras  rumah  bolon  tersebut.  Dasar  dari  dindingnya  berornamen  patung  laki – laki  dan  perempuan. Mereka  mengenakan  kain  tenun  khas  Batak, yakni  kain  ulos. Perlu  dicermati, saya  tidak  sedang  memasuki  rumah  bolon  yang  menjadi  tempat  tinggal  keluarga  Batak. Atau  rumah  bolon  tempat  ibu – ibu  Batak  menenun  kain  ulos. Saya  sedang  memasuki  sebuah  makam  milik  keluarga  Simanjuntak  di  Nainggolan.

                Tentunya, saya  harus  menyimak  baik – baik  penjelasan  Pak  Simanjuntak  dan  anaknya. Saya  baru  menyadari, warna  hitam, putih, dan  merah  adalah  warna  yang  digunakan  untuk  rumah – rumah  bolon. Menurut  warga  Batak  sendiri, tiga  warna  tersebut  memiliki  arti  yang  dalam. Bentuk  artistik  dua  pasang  manusia  itu  menggambarkan  nenek  moyangnya  yang  menghasilkan  keturunan  mereka  di  tanah  Samosir. Tiap  anggota  keluarga  yang  wafat, mereka  masukkan  dalam  peti  dan  disimpan  di  lantai  dua.

                “Kami (orang  Batak) akan  membuat  tugu  setinggi  atau  sebesar – besarnya. Kemudian, kami  akan  manggali  (gali) kembali  kuburan  para  pendahulu  kami. Kami  bersihkan  tulang – tulang  mereka, kemudian  kami  masukkan  peti  baru  lagi  untuk  dipindahkan  ke  tugu  yang  telah  kami  bangun,” jelas  Pak  Simanjuntak.

                Stratifikasi  suku  Batak  terlihat  dari  tugu  yang  mirip  dengan  pagoda  itu. Semakin  besar  Tugu, semakin  tinggi  pula  derajat  orang  yang  membangun. Bahkan, kadang  kala  suku  Batak  membangun  makam  mereka  dengan  besar  dan  indah, bahkan  lebih  bagus  daripada  rumah  mereka  sendiri.

                Lanjut  Pak  Simanjuntak, ia  dan  anak  laki – laki  sulungnya  pernah  menggali  kuburan  pendahulunya. Bukan  hanya  sekali, tapi  tiga  kali  untuk  dipindah  ke  tugu  yang  menyerupai  rumah  bolon  itu. Sebelum  memindahkan  peti  menuju  tugu  yang  cantik  itu, mereka  melakukan  beberapa  ritual, seperti  pelaksanaan  menyembelih  kerbau  dan  makan  besar  hingga  orang  satu  kampung  bisa  makan.  

Batin  saya, “Bapak  tidak  takut  kalau  membongkar  kuburan  orang?”

            Tanpa  saya  ucapkan, Pak  Simanjuntak  tahu – tahu  berceletuk, “Saya  sudah  biasa. Dari  kecil  saya  sudah  lihat  orang – orang  angkat  tengkorak,” jawabnya  sambil  tertawa. Bagi  Pak  Simanjuntak, ketika  ia  masih  hidup, kewajibannya  adalah  memberi  tempat  yang  disukai  oleh  keluarganya  yang  sudah  tiada  agar  mereka  bahagia  kekal  selamanya.


                “Saya  berharap, semoga  kalau  saya  sudah  berada  dalam  posisi  yang  sama  seperti  mereka, saya  bisa  diberi  tempat  senyaman  mungkin  di  Tau  Toba  Na  Uli (Tanah  Toba)  ini,” ungkapnya. 



Penulis: Gita Juniarti
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 comments:

Post a Comment

Item Reviewed: Makam Suku Batak : Megah dan Mewah Rating: 5 Reviewed By: Unknown