Pada pertengahan
Februari 2014, saya berkesempatan
untuk melihat bentuk
makam suku Batak
di Tanah Samosir. Singkat kata, pada
hari keempat tinggal
di Pulau Samosir, saya
menyusuri Lumban Suhi – Suhi
bersama guide sekaligus ojek yang
mengantarkan saya kemana – mana, yakni Bapak
Simanjuntak. Ia mengantarkan saya
menuju Huta Nainggolan
yang terletak di
selatan Pulau Samosir.
Salah satu makam yang berhasil saya potret di pinggir jalan |
Hal menarik
lain yang bisa
saya lihat di
Nainggolan adalah makam
keluarga yang melekat
dengan tradisi suku
Batak. Makam keluarga tersebut
berjarak sekitar lima
meter dari jalan
raya. Sebenarnya, saya tidak menyangka
bahwa bangunan yang
kami tandangi adalah
makam. Pasalnya, bangunannya
megah dan cantik
sekali. Rupanya, bangunan - bangunan megah yang saya lihat di
pinggir - pinggir jalan raya sebagian besar adalah makam.
Padahal, saya pikir rumah dari petinggi - petinggi di kawasan
Samosir. Bagaimana tidak, bangunan tersebut tidak seperti
pemakaman umum yang saya lihat di kota - kota besar.
Makam tentunya
berkaitan dengan kematian. Bagi Suku Batak, kematian adalah
bagian dari religi, sistem kekerabatan, dan stratifikasi
sosial. Religi yang dimaksud
oleh Suku Batak
berkaitan dengan roh
yang ada di
dalam tubuh manusia
sampai roh yang
telah keluar dari
tubuh manusia. Kata Pak
Simanjuntak, tiap orang Batak
memiliki roh atau
Tondi. Selain Tondi, orang –
orang yang memiliki
stratifikasi sosial tinggi
memiliki roh yang
bernama Sahala. “Roh Sahala
biasanya dimiliki oleh
raja, panglima perang, dukun,
atau orang – orang yang
disegani oleh masyarakat.
Untuk roh
yang sudah meninggalkan
jasadnya, Suku Batak menyebutnya
Begu. Begu pun masih
terbagi menjadi dua, yaitu
begu jahat dan
begu baik. Begu jahat
disegani dan begu
baik dihormati. Suku Batak
memiliki banyak cara
untuk melakukan pemujaan
pada tiap begu.
Pak Simanjuntak
berkata, karena ia masuk
dalam suku Batak
Karo, begu yang terbagi
dalam Batak Karo
terbagi menjadi empat. Begu
bayi yang masih
ada di dalam
rahim ibunya, begu yang
masih tumbuh gigi, begu
orang yang mati
dalam usia muda, dan
begu orang yang
mati tidak wajar. Kadang
ada suku batak
yang membaginya menjadi
6, atau hanya 3. “Ada
Batak Mandailing, Batak Toba, Batak
Pak Pak, dan lainnya,” jelas Pak
Simanjuntak.
Tugu atau
Makam?
![]() |
Salah satu makam yang desainnya menyerupai rumah bolon |
Saya pun
meniti tangga – tangga kecil
menuju lantai dua, menuju
teras rumah bolon tersebut. Dasar
dari dindingnya berornamen
patung laki – laki dan
perempuan. Mereka mengenakan kain
tenun khas Batak, yakni kain
ulos. Perlu dicermati, saya tidak
sedang memasuki rumah bolon
yang menjadi tempat
tinggal keluarga Batak. Atau
rumah bolon tempat ibu – ibu Batak
menenun kain ulos. Saya
sedang memasuki sebuah
makam milik keluarga
Simanjuntak di Nainggolan.
Tentunya,
saya harus menyimak
baik – baik penjelasan Pak
Simanjuntak dan anaknya. Saya
baru menyadari, warna hitam, putih, dan merah
adalah warna yang
digunakan untuk rumah – rumah
bolon. Menurut warga Batak
sendiri, tiga warna tersebut
memiliki arti yang
dalam. Bentuk artistik dua
pasang manusia itu
menggambarkan nenek moyangnya
yang menghasilkan keturunan
mereka di tanah
Samosir. Tiap anggota keluarga
yang wafat, mereka masukkan
dalam peti dan
disimpan di lantai
dua.
“Kami (orang Batak) akan
membuat tugu setinggi
atau sebesar – besarnya.
Kemudian, kami akan manggali (gali) kembali kuburan
para pendahulu kami. Kami
bersihkan tulang – tulang mereka, kemudian kami
masukkan peti baru
lagi untuk dipindahkan
ke tugu yang
telah kami bangun,” jelas Pak
Simanjuntak.
Stratifikasi suku
Batak terlihat dari
tugu yang mirip
dengan pagoda itu. Semakin
besar Tugu, semakin tinggi
pula derajat orang
yang membangun. Bahkan,
kadang kala suku
Batak membangun makam
mereka dengan besar
dan indah, bahkan lebih
bagus daripada rumah
mereka sendiri.
Lanjut Pak
Simanjuntak, ia dan anak
laki – laki sulungnya pernah
menggali kuburan pendahulunya. Bukan hanya
sekali, tapi tiga kali
untuk dipindah ke
tugu yang menyerupai
rumah bolon itu. Sebelum memindahkan
peti menuju tugu
yang cantik itu, mereka
melakukan beberapa ritual, seperti pelaksanaan
menyembelih kerbau dan
makan besar hingga
orang satu kampung
bisa makan.
Batin saya, “Bapak
tidak takut kalau
membongkar kuburan orang?”
Tanpa saya
ucapkan, Pak Simanjuntak tahu – tahu berceletuk, “Saya sudah
biasa. Dari kecil saya
sudah lihat orang – orang angkat
tengkorak,” jawabnya sambil tertawa. Bagi
Pak Simanjuntak, ketika ia
masih hidup, kewajibannya adalah
memberi tempat yang
disukai oleh keluarganya
yang sudah tiada
agar mereka bahagia
kekal selamanya.
“Saya berharap, semoga kalau saya sudah berada dalam posisi yang sama seperti mereka, saya bisa diberi tempat senyaman mungkin di Tau Toba Na Uli (Tanah Toba) ini,” ungkapnya.
Penulis: Gita Juniarti
0 comments:
Post a Comment