Tanggal
9 Maret, saya mendapat
tugas sebagai humas
di sebuah yayasan
mengenai terumbu karang. Yayasan tersebut
bermaksud menggagas pelestarian
terumbu karang di
seluruh kawasan coral triangel, yaitu Indonesia, Filipina, Malaysia, Papua Nugini, dan
Kepulauan Solomon. Saya beruntung
karena mendapatkan kesempatan
untuk pergi ke
Filipina dan mengikuti
serangkaian kegiatan yang
sangat menyenangkan. Setelah kesibukan
sebagai humas berakhir, saya pun
harus kembali ke
Indonesia. Saya naik Philiphines
Airlines dan turun
di bandara Changi
untuk transit ke
pesawat Garuda Indonesia. Percaya nggak
percaya, saya minggat dan
travelling di Singapura! Tak apa
kan? Pekerjaan saya sebagai
humas sudah selesai, beban skripsi
masih tersisa sedikit, dan
inilah saatnya perjalanan
besar di tahun
2015 dimulai. Perjalanan saya
dan someone special di
negeri seberang Indonesia.
Bandara Changi |
Sementara saya
menunggu penerbangan someone special
dari Jakarta ke
Singapura, saya berfoto narsis
sebentar di Bandara
Changi. Bandara paling mewah
yang pernah saya
lihat. Wajar saja jika
bandara Changi termasuk
bandara yang diidolakan
oleh turis seluruh
dunia. Kenyamanan yang luar
biasa dan teknologi
canggih yang tersebar
dimana – mana.
Saya
melihat jadwal kedatangan
someone special. Jam 10
pagi dengan Garuda
Indonesia. Sembari menunggu kedatangannya
sekitar 40 menit
lagi, saya melihat penerbangan
lainnya. Dari Langkawi,
Kuala Lumpur, Manila, Bangkok, Pathay,
Hanoi, New Delhi, Seoul, Haneda
(Jepang), bahkan sampai Manchester. Penerbangan dari
Indonesia pun tidak
sedikit. Ada pesawat dari
Jakarta, Bali, Makasar, Manado, Palembang, dan Medan
yang akan singgah
di Singapura pagi
itu. Singapura memang negara
kecil. Tidak ada penerbangan
sesama Singapura, seperti Indonesia. Antar kota
saja ada penerbangan, seperti Jakarta – Jogja yang
bisa ditempuh dalam
waktu 7 jam dengan mengendarai
mobil. Apalagi Indonesia terbagi – bagi menjadi
pulau – pulau kecil.
Penerbangan ke Nias
di Sumatera Utara
atau Selayar di
Sulawesi Selatan saja
tersedia, apalagi di berbagai
penjuru kota besar
di Indonesia.
Ketika
asyik memindai jadwal
arrived-departure di
Bandara Changi, dua orang
berkulit legam mengajak
saya berbicara dalam
Bahasa Inggris. Mereka bertanya, kemana saya
akan pergi? Saya menjawab, “I don’t know. Just
waiting my boyfriend, and we
want to make
a schedule for
travelling in this
country”. Dua laki –
laki itu
tergelak dan mengajak
saya toast. Saya bingung,
apa maksud dari
kedua orang ini?
“You know
what? You are same
with us. We don’t
know where we
want to go,” cetus dua
traveller itu, membuat saya
ternganga. Setidaknya, saya
punya satu tempat
tujuan pasti. Saya sudah booking
hotel di Hamilton
Street. Nah, dua turis asal
Kamerun ini ternyata
belum booking hotel sama
sekali. Dengan jujur, mereka bercerita
kalau mereka memesan
penerbangan dari Langkawi
ke Singapura secara
mendadak, terbang secara mendadak, dan
tiba di Changi
tanpa ada rencana
sama sekali.
Dua turis asal
Kamerun itu bernama
Claud dan Lees. Jika
pada awalnya saya
dibuat melongo dengan
kenekatan turis Indonesia, dua turis
ini bikin saya
menganga! Claud bekerja sebagai
pelatih tarian hip
hop di negaranya, sementara Lees
bekerja sebagai fotografer
freelance. Mereka memesan
penerbangan dari Kamerun
ke New Delhi. Dari
New Delhi hingga
tiba di Singapura, mereka sudah
melewati Hanoi (Vietnam), Bangkok
(Thailand), Vientiene (Laos), Siem Rap
(Kamboja), Phom Phen (Kamboja), Pattaya
(Thailand), dan sederet kota – kota lain. Mereka
naik segala macam
kendaraan. Kereta, kapal barang,
mobil tebengan, truk nebeng, bus, hingga kendaraan – kendaraan tradisional
di negara masing – masing. Memang, sih India
masih satu daratan
dengan negara – negara Indocina. Tapi... mereka benar – benar
gila dan nekat! Apalagi mereka
sudah mulai travelling
dari bulan Januari
2015.
“We just
walk, get lost, around the city,
whatever we want,” cetus Lees
yang memang lebih
cerewet daripada Claud
yang tidak bisa
berbahasa Inggris dengan
fasih. Claud hanya mampu
berbahasa Perancis, tapi paham
apa yang saya
bicarakan dengan Lees. Ia
mendengarkan kami bercerita, kadang ikut
tergelak, dan mengangguk –
angguk.
“Are you
have a plan
to go home
again? I mean... go to
Camerun?” tanya saya pelan.
“We are
not like you. You
just have very
very short time
in Singapore. Just 9
days! You know, Gi... we are
travelling until christmast,” tuturnya sambil
tersenyum dan membuat
mata saya hampir
copot. Gilaaa... mereka
travelling sampai hari
natal tahun 2015? Itu
berarti masih 9
bulan lagi! Dan mereka
bilang kalau liburan
saya selama 9
hari sebagai ‘very very
short time”? Mata saya
berbinar – binar, membayangkan
berbagai warna cap
imigrasi yang menghiasi
lembar – lembar paspor mereka
kelak hingga Desember
2015.
Lees
melanjutkan,”Kami tidak punya
rencana untuk bepergian
ke negara apa
setelah ini. Kami hanya
membawa uang secukupnya. Kalau tidak
cukup, kami menyanyi berkeliling (mengamen) di negara – negara yang
memperbolehkan kami melakukannya,” kata Lees sambil menunjuk
sarung gitar yang
dibawa olehnya. Ia bercerita, kota – kota kecil
di kawasan sekitar
Bangkok, Kamboja dan Vietnam
telah menjadi ‘saksi
bisu’ mereka mengamen
dan mengumpulkan uang.
“Kami
memang tidak punya
rencana panjang. Tapi, yang pasti, rencana kami
setelah dari Singapura
adalah pergi ke
Kuala Lumpur,” kata Lees. Saya
mengerutkan kening. Kuala Lumpur? Mereka kan
habis dari Langkawi, Malaysia. Masa mau ke Malaysia
lagi?
Belum
sempat saya bertanya, someone special
sudah muncul di
pintu kedatangan dengan
kaus hitam bertuliskan
Billabong. Ia menghampiri saya
dan segera saya
perkenalkan kepada Lees
dan Claud. Mereka berjabat
tangan diiringi senyum
ramah.
“Lees, tolong
jelaskan kepada saya
alasan kamu ke
Kuala Lumpur. Kalian berdua
habis dari Langkawi, Malaysia. Kalian sudah
di Singapura dan
akan kembali lagi
ke Malaysia?” tanya saya
heran.
“Why not? I
have friend in
Singapore. We meet when
he got holiday
time in Bangkok. He
is challange us to follow
him. He want to
watching Arsenal versus
Manchester United with
another foreign traveller
in Kuala Lumpur. I
think that’s momment
very rare, but wonderfull,” cerita Lees. Wah, kalau dia
bilang soal Manchester
United, pasti someone
special saya bereaksi
dengan cepat. Apalagi
kalau diajak nobar, walau
jauh di Kuala
Lumpur. Benar saja, dia langsung
terlibat pembicaraan seru
dengan tema ‘Manchester
United’. Ketiga laki – laki yang
baru berkenalan 10
menit lalu ternyata
penggemar Manchester United. Mereka cepat
sekali akrab dan
saya pun segera
tersisihkan. Jujur, I am
blind about football!
Changi, tempat saya bertemu dengan para traveller hebat! |
Oh, ya. Karena
nama saya mirip
dengan ‘Guitar’ yang
mereka pegang, Lees dan
Claud memutuskan untuk
memanggil saya dengan
sebutan ‘Gi’ (baca : Ji).
Sementara memanggil someone special
dengan sebutan ‘Rain’ (baca : Rein). Bagi mereka, nama – nama orang
Indonesia susah untuk
disebutkan. Wah, bagaimana kalau
kedua traveller asing
ini bertemu dengan
kakak adik saya
yang berawalan ‘Gi’
semua? Gilang, Gita, Gina, Gifar? Masa
semua saudara saya
dipanggil ‘Gi’? Tapi sudahlah... yang penting
dua traveller Afrika
itu tidak ribet
memangil ‘Gheitha’ untuk
memanggil saya.
***
Setelah seru
berbicara tentang Manchester
United, kami baru merasakan
perut sudah melilit
kelaparan. Kami berempat memang
belum sarapan karena
mengejar penerbangan pagi. Someone special
penerbangan pagi dari
Jakarta, saya dari Manila, sementara dua
traveller ini dari
Langkawi. Kami memutuskan untuk
naik MRT menuju
hotel tempat saya booking
kamar beberapa minggu
lalu.
Someone special menjadi
pemandu kami bertiga
karena dia sudah
pernah ke Singapura
beberapa kali. Dia membelikan
empat kartu Singapore
Tourist Pass (STP). Harganya 26
dollar Singapura (SGD) dan akan
diberi refund sebesar 10 dollar setelah
2 hari pemakaian
kartu tersebut. Pasalnya,
hanya hari ini
dan besok saja
kami tinggal di
Singapura. Besok tepat jam
23.00, kami akan berangkat
ke Kuala Lumpur
untuk nobar Arsenal
vs MU.
MRT dari
Changi melaju menuju
Tanah Merah. Menurut buku
travelling yang saya
pegang, hotel saya dan someone
special yang berlokasi
di Hamilton Street
dekat dengan stasiun
MRT Lavendar. Jadi, dari Tanah
Merah, kami menaiki MRT
East Singapore menuju
stasiun MRT Lavendar. Karena Lees
dan Claud belum booking
kamar hotel, maka dia
memutuskan untuk ikut
nginap di tempat
saya dan someone special.
Setelah tiba
di MRT Lavendar, kami segera
menghampiri Kopitiam yang
sudah ramai. Maklum, kami tiba
di Kopitiam tepat
ketika jam makan
siang orang – orang kantoran. Tiga orang yang
bersama saya memang
beragama non-muslim, jadi mereka
tidak sulit untuk
memesan menu yang
ada di Kopitiam
Singapura. Saya tahu kalau
saya tidak lagi
berada di Indonesia, jadi cukup
sulit untuk mendeteksi
masakan – masakan itu halal
atau tidak.
Someone special berinisiatif memesankan
makanan untuk saya. Saya
pun mengangguk setuju
karena dia lebih
tahu Singapura daripada
saya. Maka, ia dan Claud
pun menuju counter
untuk mengantri memesan
makanan. Tak berapa lama
kemudian, mereka pun kembali. Someone special
membawa dua piring
nasi goreng untuk
saya dan dia, sementara Claud
kembali membawa fish fried
soup untuk Lees
dan masakan China
yang saya tidak
tahu namanya untuk
dirinya sendiri.
Nasi goreng. Yah, makanan yang
lezat dan cocok
untuk sarapan kesiangan.
***
Saya bersyukur
sekali sudah dipesankan
nasi goreng dan
Sugar Cane, minuman segar
ala Singapura. Tenaga saya
bertambah untuk menempuh
perjalanan yang lumayan
jauh. Pasalnya, dari MRT Lavendar
sampai Hamilton Street, jaraknya kira – kira
1 kilometer. Jadi, tiap hari saya bersama
tiga orang traveller
ini akan berjalan
kaki 1 kilometer
untuk menuju ke
MRT Lavendar yang
siap mengangkut kami
kemana – mana.
Setelah kami
tiba di hotel, kami
check in dan diberi
dua kunci kamar. Saya
menempati kamar tidur
bersama dua turis
dari Hong Kong
dan Philiphina. Kamar itu
seperti kamar asrama. Ada
6 tempat tidur
bertingkat dalam satu
kamar. Dalam satu kamar, kita
bisa tidur dengan
turis dari negara
manapun. Satu kamar untuk
perempuan, sementara kamar sebelah
untuk laki – laki. Hotel tersebut
terdiri dari empat
lantai. Lantai pertama berisi
resepsionis, ruang tamu, dapur,
dan ruang makan, sementara lantai
dua sampai lantai
empat berisi ruangan
yang sama. Masing – masing lantai
tersedia kamar laki – laki
dan perempuan, ruang landry,
dan kamar mandi. Hotel
yang cocok untuk
kaum backpacker.
Saya menempati lantai
tiga, sementara someone
special dan dua
turis Afrika tadi menempati
kamar tidur di
lantai dua. Mereka sekamar
dengan enam turis
dari berbagai belahan
dunia. Dari situ pula, saya
mengenal turis yang
sekamar dengan someone special, Lees, dan Claud. Namanya Chan. Bla
bla bla Chan. Saya
sulit mengeja ‘bla
bla bla’ tadi. Oleh
karena itu, saya dan
tiga kawan traveller
saya setuju untuk
memanggilnya Chan saja.
Chan adalah
traveller asal Busan, sebuah
kota di Korea
Selatan. Ia bekerja sebagai
karikatur di sebuah majalah. Niatnya, dia berlibur
ke Malaysia, Singapura, dan Indonesia. Sebelum terbang
ke Bali, Chan travelling
selama 2 hari
di Singapura. Kemudian,
waktu sekitar 7
hingga 8 hari
akan digunakan Chan
untuk travelling di
Bali. Sebentar saja, saya sudah
akrab dengan Chan. Pasalnya, tiga laki – laki
yang berkenalan di
bandara Changi terus
menerus berbicara soal
Manchester United (MU).
Untungnya Chan bukan
penggila sepak bola
seperti mereka.
“Where does we
want to go?” tanya Chan
memecah pembicaraan ketika
kami berjalan kaki
menuju ke MRT
Lavendar.
“Merlion statue, please,”
ucap saya dengan
nada memohon kepada
empat laki – laki yang
menjadi teman pejalan
saya.
Mereka semua
setuju. Namun, untuk tujuan pada
malam jam 9
nanti, Lees dan Claud
meminta saya, Rein (someone
special), dan Chan untuk
datang ke Upper
Street di Chinatown. Ia
akan memperkenalkan kami
semua kepada teman
travellernya yang akan mengajak mereka
berdua untuk nobar
MU vs Arsenal
di Kuala Lumpur.
Someone special menjadi
pemandu utama kami. Tentu
saja, cuma dia yang
pernah liburan berkali – kali ke
Singapura. Sementara saya, Lees,
Claud, dan Chan mengikutinya
dari belakang. Mulai dari
menempelkan kartu STP
ke mesin agar
pintu terbuka, naik MRT
jurusan Joon Koon
dan transit di
Raffles Place, kemudian berpindah
dari MRT jurusan
East Singapore menuju
ke MRT dengan
tujuan Marina Bay.
Setelah turun
di Marina Bay, ternyata
kami harus berjalan
kaki lagi menuju
patung Merlion. Jalan kakinya
cukup jauh. Kami melewati
kawasan perkantoran terlebih
dahulu, melewati lapangan,
melewati gedung Marina
Sands, dan akhirnya bertemu
dengan Singapore River. Setelah berfoto
narsis sebentar di
sana, kami melanjutkan perjalanan
menuju Patung Merlion. Tentu saja
yang membimbing kami
berjalan menuju Merlion
Statue adalah someone special. Ia dan
Lees berjalan dengan
cepat, sementara saya, Claud,
dan Chan
mengikutinya dengan nafas
ngos – ngosan. Singapura itu panas
dan lembab. Perpaduan cuaca
yang menciptakan dehidrasi
yang super parah. Sialnya, tidak ada
satupun dari kami
berlima yang membawa
air mineral.
***
Di depan Marina Sands |
Setelah bernarsis
ria di Patung
Merlion, someone special
mengajak kami untuk
pergi ke Orchard
Road. Kami setuju karena
Orchard Road adalah
nama jalan yang
terkenal sebagai pusat
perbelanjaan di Singapura. Kami segera
melesat ke sana
dan turun di
Halte Dhoby Ghaut. Di
sana, kami berjalan kaki
menyusuri halte hingga
akhirnya menemukan sebuah
tempat yang cantik
sebelum mencapai Orchard
Road. Kami menemukan The
Istana Park.
Siang itu adalah
berkah. Kami berjalan –
jalan mengitari The
Istana Park. Menurut Chan,di
Korea banyak taman – taman
seperti Istana Park. Tapi, bagi kami
dari Indonesia dan
Afrika, taman kota sangat
minim. Justru di negara
Indonesia dan Kamerun, yang
alami terlihat lebih
nyata daripada taman
buatan seperti ini. Chan
membenarkan untuk Indonesia. Dia lebih
banyak tahu tentang
Indonesia daripada Afrika, karena kalau
libur tiba, dia memilih
untuk liburan ke
Indonesia. Selain kurs mata
uangnya sangat murah, Chan
juga menyukai banyak
hal tentang Indonesia. Kata Chan, sudah
melihat pemandangan khas
negara tropis, dia juga
masih melihat kebudayaan
Indonesia yang sangat
beragam.
Makan siang sembari 'mengapung' di atas air |
Ia menceritakan, kalau di
Korea, dari Seoul sampai
Busan, semua budayanya pasti
sama. Sementara di Indonesia, dia pernah
jalan – jalan dari Jakarta
ke Bandung. Di Jakarta, dia
sempat melihat pertunjukkan
di suatu tempat
yang namanya sulit
disebutkan (antara Salihara atau
Taman Mini Indonesia
Indah), kemudian ke rumah
angklung di Bandung. Dua
kota yang berdekatan
saja memiliki dua
tradisi yang berbeda. Apalagi kalau
nanti dia ke
Bali.
Sambil makan
siang di samping
kolam jernih dan
tugu di The
Istana Park, Chan bercerita
banyak tentang tempat – tempat yang
sering didatanginya ketika
liburan. Aksen Inggris campur
Koreanya membuat tempat – tempat tersebut
terasa asing di
telinga saya. Contoh, ketika dia
sebut ‘Ubud’, dia mengatakan
‘Youboud’. Saya bingung dan
menerka – nerka. Sampai dia bilang
dan mendeskripsikan, ”The
quite place, in Bali. Youboud. Do you
know it, Gi? Rein?” tanyanya.
Someone
special yang duluan
sadar bahwa tempat
yang Chan maksud
adalah Ubud.
Chan juga
mengucapkan ‘Jogja’ menjadi ‘Yougyija’. Di Jogja, dia
pernah backpacker bersama
tiga teman kerjanya
selama dua minggu. Penganut agama
Buddha ini sudah
pergi ke Borobudur, Prambanan, menyempatkan diri
mendaki Merbabu, bahkan sampai
ke Gunungkidul. Chan juga
pernah ke Jakarta
bersama keluarganya ketika
ia masih kuliah
dulu, sekitar 4 tahun
yang lalu. Dari Jakarta, mereka pergi
ke Bandung dengan
menaiki kereta. Pesawat mereka
berangkat ke Singapura
dari Bandara Husein
Sastranegara di Bandung, kemudian dari
Singapura mereka terbang
ke Busan dengan
Korean Air.
Impian terpendam
Chan adalah ingin
ke ‘Rayja Amphat’ alias
Raja Ampat. Sayangnya, biaya ke
sana sangatlah mahal. Menurutnya, harganya sama dengan wisata
keliling Eropa. Saya dan someone
special pun mengusulkan
banyak tempat untuk
didatangi oleh Chan. Saya
dan someone special berlomba
‘mempresentasikan’ keindahan Indonesia
di depan Chan. Pertama, someone special memperlihatkan foto
di Lombok, Alor, Manado, Makasar,
dan Mamuju. Saya juga
tidak ketinggalan. Hasil dari
solo travellng keliling
Sumatera pun saya
ceritakan ditambah foto – foto
keindahan Pulau Samosir, Pulau Weh
Aceh, Bukittinggi, dan Teluk Kiluan
Lampung. Mata Chan berbinar – binar melihat
foto kami berdua. Dia
pun bertanya, kemanakah yang
paling murah? Setelah dari
Bali, dia ingin pergi
ke salah satu
tempat yang kami
tunjukkan. Tentu saja yang
paling dekat dengan
Bali adalah Lombok. Dia
bisa naik kapal
ferry menuju Lombok
dari Padangbai. Chan pun
mengangguk – angguk senang mendengarkan
penjelasan kami tentang
Indonesia.
Keesokan harinya, Chan
harus berangkat ke
Bali dari Changi
dengan menaiki pesawat
Air Asia. Dia mengatakan
kepada someone special sebelum
meninggalkan hotel, “In my
eyes, Indonesia was most
beautiful country I
ever seen. I like
Indonesian’s view, more than
Maldives. Maldives just have
nice view in
beach only. But in
Indonesia, I like the
mountain, the tample, the beach, traditional view, and
all of the
Indonesian things,” cetusnya sebelum
check out. Chan, semoga kamu
sampai di Bali
dengan selamat!
Penulis: Gita Juniarti
0 comments:
Post a Comment