16-18 Februari 2014 (Dari Pekanbaru ke Banda Aceh)
Worst experience
I ever meet!
![]() |
Peta provinsi Aceh. Sumber : www.google.com |
Kalau ditanya, perjalanan terburuk
apa yang pernah
saya rasakan ketika
keliling Sumatera? Jawabannya adalah
saat menempuh perjalanan
dari Pekanbaru ke
Aceh.
Dari awal, ketika
saya berniat keliling
Sumatera sendirian, ketika someone special
saya tidak bisa
ikut karena ada
urusan di kampusnya, saya sudah
meyakinkan diri saya
sendiri bahwa saya
akan baik – baik saya
sepulangnya dari Sumatera. Saya ingat
ucapan teman sejawat
saya yang meniti
karir dari Lembaga
Pers Mahasiswa (LPM)
Institut UIN Jakarta. Sebelum berangkat
ke Sumatera, dia berpesan
pada saya, “Yakin aja, Git. Ingat Allah. Allah
itu ada,” ucapnya. Saya yang
awalnya ragu, akhirnya memegang
teguh prinsip itu.
Perjalanan dari
Pekanbaru ke Aceh
tidak sebentar. Satu hari
saya melalui perjalanan
Pekanbaru – Medan (berangkat
jam 8 malam
dari Pekanbaru dan
sampai di terminal
Gagak Hitam Medan
pukul 9 pagi), transit di
terminal Gagak Hitam
Medan, kemudian berangkat dari
Medan – Banda Aceh
(berangkat pukul 2
siang dan tiba
di Banda Aceh
pukul 5 pagi).
Ketika Bus
Pelangi berangkat dari
Pekanbaru, saya duduk sendiri
di bangku nomor
dua dari belakang. Saya duduk
di dekat jendela. Di
tengah jalan, Bus Pelangi
menaikkan seorang penumpang. Laki – laki, tampangnya tidak
terlalu tua, dan duduk
di tempat kosong
satu – satunya di dalam
bus, yaitu di sebelah
saya. Bus Pelangi yang
saya tumpangi menyediakan
fasilitas yang komplit. Ada
makan malam, selimut, dan bantal. Serasa saya
naik pesawat saja.
Saking lelahnya
menjelajah Pekanbaru, saya pun
tertidur dengan headset
terpasang di telinga, menyambung dengan
iPhone yang ada di dalam
saku celana jins
saya. Pukul 5 pagi, saya
terbangun ketika bus
mulai memasuki Kota
Medan. Tiba – tiba, saya merasakan sesuatu
yang aneh. Saya kaget
ketika melihat penumpang
di sebelah saya
(maaf-) mengelus – elus paha saya. Penumpang di
sebelah saya sedang
menutupi kepala sampai
kakinya dengan selimut. Hanya tangannya
saja yang keluar
dari dalam selimut
dan melakukan pelecehan
seksual.
Saya segera
memukul tangan pria
yang duduk di
sebelah saya. Refleks, dia menarik
tangannya kuat – kuat ke
dalam selimut lagi. Sepertinya dia
tahu kalau saya
sudah bangun. Refleks, saya berteriak, “PERMISI!” dengan suara
keras dan menendang
kaki pria itu. Kaki
pria itu menyingkir
dan saya pun
melewatinya. Sepasang suami istri
yang duduk di
seberang kursi saya
dan pria cabul
ini sampai menoleh
ke arah saya. Ia
mengernyitkan kening melihat
saya bersuara keras, kemudian berpindah
tempat duduk. Saya duduk
di lorong yang
memisahkan dua kursi
bus itu. Saya enggan
untuk duduk lagi
di kursi bus
itu.
Kenek bus
pun menghampiri saya
dan bertanya, kenapa saya
pindah ke tengah. Duduk
lesehan pula. Saya pun
menjawab dengan ketus, “Tanya
aja sama orang
itu! Saya nggak mau
duduk di sebelah
dia lagi!” seru saya
sambil menunjuk pria
yang duduk di
sebelah saya. Pria itu
pun menurunkan selimut
dari kepalanya, kemudian berkata
kepada saya dengan
bahasa yang tidak
saya ketahui. Entah bahasa
Riau, bahasa Medan, bahasa Batak, bahasa
Aceh, apapun itu, pokoknya saya
tidak mau bicara
dengan dia. Ucapan pria
itu dibalas oleh
ibu Batak yang
duduk di seberang
tempat duduk saya. Suaminya pun
ikut menghardik pria
itu. Kenek pun ikut
menghardik pria itu
dengan bahasa yang
sama. Saat Subuh, bagian belakang
bus sedikit ramai
dan ricuh gara – gara
kelakuan pria itu
kepada saya. Tapi, saya lega
sekali karena orang – orang
di bagian belakang
bus membela saya.
“Dik,
duduk saja kau
di sini. Biar Bapak
saja yang duduk
dengan laki – laki kurang
ajar itu!” ucap Ibu
Batak itu. Pasangan suami
istri itu pun
pisah tempat duduk. Saya
duduk bersama si
Ibu, sementara bapaknya pindah
ke tempat saya
semula, yaitu di sebelah
laki – laki itu. Di tengah
jalan, sebelum sampai terminal
Gagak Hitam, laki – laki itu sudah
turun. Entah karena malu
atau memang di
situ tempatnya. Yang pasti, saya
lega dia sudah
menghilang.
Untungnya,
dalam perjalanan ke
Aceh, kenek bus sengaja
menempatkan tempat duduk
saya dengan seorang
perempuan. Perempuan itu baru
menikah di Aceh
sebulan yang lalu. Ia
mengajar menjadi dosen
di Fakultas Hukum
IAIN Sumatera Utara. Saat
itu, ia ingin pulang
dan menemui suaminya
yang bekerja di
Aceh. Kami pun sempat
berdiskusi mengenai banyak
hal. Dia lebih banyak
bercerita tentang hukum
pernikahan (wajar, baru nikah
dan lagi senang – senangnya bahas
hal tersebut) dan kewajiban
seorang Istri.
Kami berdua
pun berpisah di
terminal Banda Aceh
pagi – pagi pukul 5
Subuh. Saya menunggu teman
saya dari Universitas
Kuala Syiah menjemput
satu jam lagi, sementara dosen
IAIN SU itu
sudah dijemput oleh
suaminya. Saya pun menunggu
di terminal Banda
Aceh sampai matahari
pagi menyembul keluar
dari ufuk timur. Saya
segera menaiki becak
motor ke kampus
Kuala Syiah karena
teman saya ternyata
belum bangun tidur. Kami
pun mengubah daftar
janjian. Awalnya ingin bertemu
di terminal, sekarang gantian
bertemu di Kuala
Syiah.
20
Februari 2014 (Dari Aceh
menuju Medan)
Teman – teman
di ‘kepala’ Sumatera
Teman – teman Kuala
Syiah benar – benar membuat
saya tidak bisa
diam di Aceh. Tanggal
18 Februari, saya sampai
di Kuala Syiah
dan sudah ‘diculik’
untuk melihat tempat – tempat yang
wajib dikunjungi di
Aceh. Saya dan 8
orang kawan dari
Kuala Syiah menuju
ke Masjid Baiturrahman
Aceh, Pantai Lampuuk yang
menjadi awal mula
tsunami di Aceh, dan
masjid raya Aceh.
Air terjun 17 tingkat |
Tanggal 19 Februari, selesai Shalat
Subuh, saya diajak lagi
menuju ke air
terjun 17 tingkat
Aceh. Saya harus naik
gunung bersama teman – teman
dari Kuala Syiah
dan merasakan segarnya
air terjun ketika
nyaris mencapai puncak
gunung di Aceh
Besar itu. Usai mendaki
gunung, kami sempat nongki – nongki, alias nongkrong, di
rumah Tya yang
tidak jauh dari
Aceh Besar. Pas sekali, setelah kami
menggigil kedinginan mandi
di air terjun
di puncak gunung
sebelum Adzan Maghrib
dan capek naik-turun
gunung, kami disuguhkan kopi
susu dan air
jahe hangat. Ditambah lagi
dengan pancake yang
ditabur sirup srikaya. Wah, pelengkap yang
sempurna!
Menanjak, menurun, mendaki, menyusuri hutan untuk mencapai air terjun 17 tingkat |
Tanggal 20 Februari, kami kembali
berpetualang. Kali ini, saya diajak
berkeliling kampus Kuala
Syiah. Setelah berwisata edukasi, kami
semua berkunjung ke
kedai kopi Robusta, alias Kopi
Aceh yang membuat
saya ketagihan. Saya pun
sempat diajak melihat
museum tsunami Aceh. Setelah
Shalat Ashar, kami nongkrong
di warung yang
menjual nasi uduk
Betawi. Nama tempatnya saja Nasi
Uduk Blok M. Saya
kaget juga melihat
mereka makan dengan
lahap. Tiap pagi saya
makan nasi uduk
sebelum berangkat kuliah. Kesimpulannya, tiap hari
saya makan nasi
uduk. Maklum, orang Aceh kan
jarang makan nasi
uduk. Sama saja seperti
saya yang tergila – gila pada
kopi Aceh. Padahal tiap
hari teman – teman saya
di Aceh pun
mengkonsumsi kopi tersebut
dan pasti sudah
merasa ‘biasa banget’
dengan rasa kopi
tersebut.
Malam itu juga, saya
beranjak dari Aceh
menuju kota yang
paling ramai di
Sumatera. Saya naik bus
Perkasa menuju ke
pull terakhir di
Medan. Letaknya di Gagak
Hitam. Bus berangkat jam 9 malam
dan saya tiba
di Medan pukul
8 pagi. Saya turun
dari atas bus
dan menaiki Bemtor
menuju ke USU. Setelah
itu, saya bertandang ke
sekretariat Suara USU, berkenalan dengan
banyak teman di
sana, dan diajak jalan.
Dengan menaiki mobil, saya
bersama tiga orang dari
Suara menuju ke
tempat makan pancake
duren paling enak
se-Medan raya dengan
harga kantung mahasiswa. Berkat pancake
duren tersebut, saya yang
awalnya tidak suka
terhadap apapun yang
diolah menggunakan durian, akhirnya jatuh
cinta mendadak pada
durian Medan.
Setelah itu, saya diajak
ke Siantar untuk
membeli roti ganda
sebelum meneruskan perjalanan
menuju Parapat. Perjalanan dari
Siantar menuju Parapat
didominasi oleh jalan
yang berkelok – kelok. Ngerinya,
saya bisa melihat
jurang di pinggir
jalan ketika menuju
ke Parapat. Jantung saya berdegup
kencang dan sedikit
parno membayangkan kecelakaan
naas. Terlebih lagi, teman saya
yang mengendarai mobil
melaju dengan sangat
kencang. Mobil – mobil di sekitar
kami pun melaju
dengan sangat kencang. Saya
yang duduk di sebelah teman
saya harus memegang
dada untuk menagan
detak jantung yang
berlebihan. Bayangan – bayangan
buruk tentang kecelakaan
yang saya lihat
di Jakarta terus
menerus menghantui saya. Supir
mobilnya santai sekali
membawa mobil dengan
kecepata super. Rasanya seperti
naik metromini Lebak
Bulus – Blok M dan
sebangsanya.
Kami menginap di
Parapat. Makan malam kami
adalah roti ganda
dan segelas kopi. Sementara sarapan
kami adalah tipa –tipa
dicampur susu sapi. Tipa – tipa adalah
makanan khas Sumatera
Utara dan dimakan
seperi Coco Crunch. Bubur
gandum yang disiram
dengan susu. Setelah makan, kami
pun berpisah di
Pelabuhan Ajibata. Saya akan
menyeberang dari Parapat
ke Samosir, sementara teman – teman
dari USU akan
kembali ke Medan.
22
Februari 2014 (Dari Parapat
menuju Samosir)
Terima
kasih, Pak Simanjuntak!
Allah itu
ada.
Saya selalu
ingat pesan teman
seperjuangan saya di
lembaga pers. Allah sudah
menentukan takdir bahwa
saya akan bertemu
dengan seorang bapak
asli Batak yang
tidak pernah meninggalkan
Samosir sejak 50
tahun yang lalu. Nama
Bapak itu adalah
Pak Simanjuntak. Ia menjadi
ojek sekaligus guide saya
di Samosir dari
tanggal 22 Februari
sampai saya kembali
ke Medan tanggal
26 Februari.
Saya berkenalan
dengan dia setelah
turun dari atas
kapal dengan tujuan
Pelabuhan Ajibata menuju
Pelabuhan Tuk Tuk. Pak Simanjuntak
memang unik dan
fantastis. Dia mengajak saya
ke rumah kopi
Mamak Aritonang dan
mencoba kopi khas
sana. Wah, memang nikmat sekali
menyesap kopi di
tempat sedingin Pulau
Samosir dan melihat
pemandangan Samosir dari
tempat tinggi.
Pak Simanjuntak
bersemangat ketika mendengar saya
tertarik dengan budaya – budaya tradisional
Indonesia. Dia mengatakan,
saya telah memilih
tempat yang tepat
untuk melihat budaya
tradisional Batak. Ia mengajak
saya menuju ke
makam raja – raja Batak
zaman dahulu, kemudian ke
tugu – tugu tempat peti – peti
mati tradisional keluarga
Batak disimpan. Wah, kuburan masyarakat
Batak saja lebih
mewah dan agung
dibandingkan rumah tempat
tinggal mereka.
Hari – hari berikutnya
pun saya diajak
ke Lembah Suhi – Suhi, melihat tenun
ulos di sana. Saya
diajak ibu – ibu Batak
ngobrol ngalor – ngidul,
membahas tentang macam – macam kain
ulos, dan banyak hal. Maklum, wartawan pasti bertanya banyak
hal. Alhasil, saya
dihadiahkan sebuah kain
ulos. Katanya ibu si
penenun, kain ulos itu dipersembahkan dari
pengantin wanita untuk
pengantin pria. Saya pun
tersenyum menyambut kain
ulos itu. Batin saya, “saya kan
bukan orang Batak. Tapi
nggak papa deh. Buat
tambah – tambah koleksi kain
rajut....”. Tetap saja saya ucapkan terima
kasih pada ibu
penenun itu. Jarang dapat
kain ulos gratis. Apalagi ulos
itu habis ditenun. Saya
masih menyimpan kain
ulos itu di
lemari pakaian saya
di Malang sebagai
kenang – kenangan dari Lembah
Suhi – Suhi.
Jajaran kain ulos hasil tenun tangan |
Pak Simanjuntak
pula yang mengajak
saya menuju ke
Huta Nainggolan untuk
melihat tari tor – tor
dan upacara kematian
suku Batak tradisional. Mereka masih
menyembelih kerbau untuk
upacara kematian. Saya juga
jadi tahu istilah
tondi, sahala, dan begu dari
acara adat itu. Selain
itu, saya juga mendapat
sebuah ikat kepala
tor – tor dari mereka. Ikat
kepala itu saya
tempel di tas
yang setiap hari
saya bawa ke
kampus dan masih
ada sampai sekarang.
Saya juga
berkenalan dengan anak
Pak Simanjuntak yang
berprofesi sebagai pembuat
alat – alat musik tradisional
Batak. Ada yang bentuknya
seperti gendang, okulele,
dan suling. Tapi saya
lupa nama – namanya karena
cukup sulit untuk
diingat. Alat – alat
tersebut digunakan untuk gondang, kegiatan tradisional
di Pulau Samosir. Sementara anak
Pak Simanjuntak yang
nomor dua sedang
kuliah di Universitas
Negeri Medan.
Saya juga
sempat berkunjung ke
Huta Sialagan dan
belajar mengenai huruf – huruf
tradisional Batak pada
penduduk setepat. Bentuknya hampir
sama seperti hanacaraka yang
saya pelajari semasa
SMP dari Pepak
Boso Jowo. Tapi saya
sudah lupa dengan
huruf – huruf tradisional Batak
tersebut. Kata penduduk setempat, huruf tersebut
merupakan mantra untuk
menghilangkan kekuatan jahat
dari tubuh seseorang. Jadi, kalau saya
bisa menguasai aksara
Batak itu, saya juga
bisa membaca mantera
dan menjadi seorang
sakti. Begitulah yang saya
ketahui dari Pak
Simanjuntak.
Di Samosir
pula, saya bertemu dengan
ibu – ibu Batak yang
tinggal di pesisir
pantai. Serius, ada pantai loh
di Samosir. Padahal Samosir
itu danau, bukan pesisir. Keunikan alam
seperti ini nih
yang tidak boleh
saya sia – siakan. Saya juga
diajak untuk makan siang bersama
setelah ikut membantu
bersih – bersih pantai di
Samosir. Katanya ibu – ibu yang
tinggal di pesisir
pantai, nama masakannya adalah
ikan mas arsik. Dicampur bumbu
andaliman atau sejenis
itulah. Saya manggut – manggut saja
dan mencicipinya. Wah,
rasanya enak sekali. Ada
pedas – pedasnya, lain
dengan bumbu balado. Dari
ibu – ibu Batak itu
pula, saya dapat ‘oleh – oleh’
untuk dimakan di
hotel, yaitu ombus – ombus, tipa
– tipa, dan susu kerbau.
Sempat belajar aksara Batak juga. Tapi tetap tidak mengerti sampai sekarang |
Sempat masuk dan tinggal di Rumah Bolon, rumah tradisional Batak |
26 Februari 2014 (Samosir – Siantar – Medan – Jakarta)
Pulang
Hujan mengguyur
tanah Samosir ketika
saya melangkahkan kaki
keluar dari hotel
Pandu Lake. Sweater merah
dan jins biru
merupakan busana yang
tepat untuk digunakan
hari itu. Udara Samosir
memang menggigit kulit. Saya
berjalan sampai ke
pangkalan ojek, kemudian meminta
antar sampai ke
Pelabuhan Tuk – Tuk. Tiket
pesawat saya menunjukkan
bahwa pesawat Garuda
Indonesia rute Kuala
Namu – Jakarta akan terbang
pukul 20.45. Tapi, pukul 12.00, saya
sudah beranjak dari
Samosir.
Sial, gara – gara hujan, kapal
menunda keberangkatannya selama
30 menit. Saya harus
menunggu dengan gelisah
sampai hujan berhenti. Kapal pun
melaju selama 40
menit dari Tuk
Tuk menuju Ajibata. Di
Ajibata, saya tidak menemukan
taksi yang menuju
ke Kuala Namu. Atas
saran dari teman
saya yang tinggal
di Tebing Tinggi, Sumatera Utara, dan
perintah dari someone special
yang sudah sering
berkunjung ke Medan, saya
disuruh naik kendaraan
menuju ke Tebing
Tinggi atau Siantar. Di
sana ada travel
yang menuju ke bandara Kuala
Namu.
Saya segera
menaiki travell yang
katanya menuju ke
Siantar. Supir travel tersebut
mengatakan, dia akan menurunkan
saya di tempat
mobil Siantar – Kuala Namu
agar saya tidak
terlambat.
Pukul 15.00, saya
tiba di Siantar. Travel menuju
Kuala Namu baru
saja berangkat, membuat saya
harus mendecak kesal. Akibatnya, saya kembali
menunggu selama 40
menit. Mobil Siantar – Kuala Namu
pun berjalan menuju
bandara.
Selama perjalanan, jantung saya
dag dig dug
nggak karuan. Pasalnya, ketika mobil
memasuki Medan, macet mulai
meradang. Maklum, jam pulang kerja. Pasangan di
belakang saya pun
gelisah, karena mereka juga
naik pesawat yang
sama dengan saya, yaitu
Garuda Indonesia jam
20.45 dari Medan
ke Jakarta. Dua ibu
di sebelah saya
anteng – anteng aja dari
tadi karena Lion
Air Medan – Jakarta mereka
akan berangkat pukul
22.00.
Pukul 20.15, kami
tiba di Kuala
Namu. Saya langsung menyambar
carrier, lari ke
counter check in
Garuda, dan memasukkan carrier saya
menuju bagasi. Check in
tersebut berlangsung cepat
karena tidak ada
lagi yang mengantri. Waktu saya
pun banyak yang
terbuang karena Bandara
Kuala Namu jauh
lebih ketat dalam
pemeriksaan identitas dan
benda – benda penumpang di
banding bandara lain. Terlebih lagi, gate yang
harus saya masuki
ada di gate paling
ujung. Paling ujung di
bandara seluas Kuala
Namu. Hahhh, saya
mengerahkan seluruh tenaga
saya untuk lari
menuju gate yang dituju.
Ketika saya
memasuki gate, pengumuman bahwa
panggilan terakhir untuk
penumpang dari pesawat
Garuda tujuan Jakarta. Saya
dan pasangan yang
mengekor di belakang
saya pun lari
terbirit – birit menuju pesawat
yang akan membawa
kami ke ibukota. Lega
rasanya ketika berhasil
duduk manis di
bangku penumpang.
Rasanya tegang sekali
sejak kapal Tuk
Tuk – Ajibata terlambat berlabuh, taksi menuju
Kuala Namu yang
tidak ada di
Parapat, travell di Siantar
yang sudah berangkat
duluan. Sampai di bandara
pun saya masih
merasa dag dig
dug tidak karuan. Ketika seat belt sudah terkancing
di pinggang , rasanya saya
lelah dengan segala
ketegangan yang saya
rasakan hari ini.
“Saatnya pulang,”
batin saya pelan.
Penulis: Gita Juniarti
0 comments:
Post a Comment