Oke,
kembali ke cerita
antara lima traveller
yang berasal dari
negara yang berbeda – beda. Indonesia, Korea, dan Kamerun. Malam harinya, lagi – lagi kami
semua berkumpul di
Chinatown setelah mandi
dan tidur sebentar
di hotel. Kami tidak
menyangkal bahwa badan
kami capek semua. Saya, someone special, Lees,
Claud, dan Chan sudah
berjalan kaki mengelilingi
Orchard Road, mengelilingi Merlion
Park, dan melepas lelah
di The Istana
Park. Kami tiba di hotel
sekitar pukul 4
sore, istirahat, mandi, dan
kembali bersiap bertemu
dengan traveller asal
Singapura yang dikenal
Lees dan Claud
ketika ‘mampir’ di
Bangkok.
Traveller asal
Singapura ini gemuk
dan chubby seperti Shinchan
gitu deh. Wajahnya masih
terlihat kanak – kanak,
walau umurnya sudah
menembus angka 20. Kulitnya
putih dan terlihat
halus seperti bayi (bukan
seperti perempuan China, tapi
seperti bayi), sementara rambut – rambutnya yang
tumbuh di kepalanya
halus dan tipis
seperti bayi juga. Pipinya
tembem luar biasa. Kalau
nggak ada pacar
saya di situ, barangkali saya
sudah mencubit pipi
traveller asal Singapura
ini saking gemasnya.
Satu lagi
hal menarik dalam
dirinya selain ke-chubby-an yang
luar biasa. Dia tajir
mampus! Serius, apartemen
dia luar biasa
indah dan bagus. Dia
sudah membeli mobil
sendiri. Peralatan dalam apartemennya
pun canggih luar
biasa.
Namun,
ada satu
hal mengenai traveller
Singapura ini yang
membuat saya hampir
tertawa. Awal perkenalan dimulai
Chan, saya dan someone special. Someone special
yang pertama kali
memperkenalkan namanya, saya,
dan Chan. “I’m Rein, and
this is my
girlfriend, Gi. We are from
Indonesian. This is my
roomate, Chan from Korea,” katanya.
Pria chubby itu
mengangguk – angguk dan berkata, “Okay.
Nice to
meet you Chan, Rein, Gi. And hello... my
name is Moo,” ucapnya. Gila, tidak hanya
wajahnya yang chubby.
Suaranya juga imut.
“What? Can
you spell your
name, please?” tanya
saya sambil menahan
tawa.
“Em-Ou-Ou. Like buffalo’s
sound,” katanya sambil tertawa. Lees
dan Claud pun
berlomba mengucapkan “Mooooouuuuwww...” seperti suara
sapi. Kami semua pun
tertawa. Gara – gara nama Moo, kami
semua menjadi akrab
satu sama lain.
Setelah berbasa – basi di apartemen Moo, laki – laki yang
sangat tahu Singapura
itu mengajak kami
makan malam bersama. Dia
membawa kami ke
tempat – tempat jajanan Singapura
di Chinatown. Berbagai gerai – gerai
makanan berada di
sana dan kami
segera memperoleh tempat
duduk yang strategis. Tempat duduk
kami berada di
seberang gerai makanan
Malaysia.
Moo sempat
memperhatikan saya yang
memakai kerudung, kemudian berkata, “Hei,
guys. Because all of
you are my guest,
don’t push away my
treating of food
for dinner today,” cetus Moo
setelah kami duduk. Moo
menghampiri saya sebentar, kemudian berkata, “I know, you
are mooslem. So, I just
order halal food
for all. Halal and
nice taste,” katanya.
Saya tersenyum dan
mengangguk sambil mengacungkan
jempol ke arahnya.
Makan malam bersama di Chinatown |
Menu makan
malam kami adalah
Rojak (potongan tahu dan
nanas dicampur bumbu
kacang, layaknya rujak di
Indonesia), Poppiah (seperti lemper di
Indonesia, tapi dibalut oleh
tepung roti dan
bukan daun pisang), Hanian Rice (nasi
khas Singapura yang
dimasak dengan kaldu
disertai dengan potongan
ayam rebus), dan Sugar
Cane. Lagi – lagi Sugar Cane, minuman
segar dan menyehatkan
ala Singapura.
Dari pembicaraan
kami malam itu, Moo
ternyata memang berasal
dari keluarga kaya
raya. Dia kuliah di
Milan dan baru
lulus beberapa tahun
lalu. Jurusan fashion! Di Singapura, ia
menjadi desainer pakaian. Sekali proyek
besar – besaran untuk fashion show, atau untuk
baju dalam pembuatan
film – film terkenal atau
teater, gajinya bisa mencapai
3.500 SGD. Kalau dirupiahkan, sekitar Rp. 33.250.000,00. Saya sampai
gigit – gigit bibir mendengar
nominal tersebut. Dia pun
menerima jika para
borjuis di Singapura
dan Malaysia memesan
desain baju tertentu
kepadanya. Namun, Moo lebih mengutamakan
untuk desain baju
laki – laki.
Lama kelamaan, saya semakin
terbiasa dengan kehidupan
Moo yang termasuk
borjuis di mata
orang Indonesia, tapi sepertinya
sudah biasa bagi
warga Singapura. Buktinya,
dia dan
teman – teman di sesama
desainer pakaian akan
pergi ke Bangkok
pada hari Jumat
malam. Ketika saya tanya
apa tujuannya, dia hanya
menjawab, “Just shopping. Sunday we
back to Singapore
again,” jawabnya sambil tersenyum. Astaga, seolah – olah dia
pergi ke dari
Jakarta ke Bandung
hari Jumat malam, kemudian kembali
ke Jakarta hari
Minggu malam karena
Senin adalah hari
masuk kerja.
Bagi Moo, harga
di Orchard Road
sangat mahal. Lebih baik
ia belanja ke
Bangkok atau Jakarta. Tempat favoritnya
di Jakarta adalah
Taman Anggrek, Grand Indonesia, Pacific Place, dan
Plaza Indonesia. Mall di
sana memiliki merek
yang sama dengan
di Orchard Road, tapi
harganya murah – murah. Hah,
saya saja hanya
sempat ke sana
untuk urusan tertentu. Ke
Taman Anggrek hanya
untuk jajan permen
khas sana di
lantai 3, ke Grand
Indonesia hanya untuk
menyaksikan pertunjukkan ‘Indonesia
Kaya’ di lantai
paling atas, ke Pacific
Place hanya untuk
nonton di Blitz, dan
ke Plaza Indonesia
hanya untuk ke
salon. Not for
shopping! Harga di sana
bukan harga mahasiswa
banget, sih.
Moo banyak
bertanya kepada Lees
dan Claud tentang
Afrika. Dua traveller Afrika
itu menjelaskan, beberapa orang
di Kamerun memelihara
singa seperti memelihara
anjing. Saya terperanjat mendengarnya. Buset, ada singa di
dalam rumah? Nggak salah? Claud
pun bercerita, ketika ia masih kecil, ia
sering bermain dengan
singa. “Lion is
my icon,” katanya. Bahkan,
Claud menunjukkan fotonya
sedang memeluk leher
singa dengan background jalan
setapak dan beberapa
rumah di belakangnya. Artinya, singa itu
memiliki akses bebas
untuk memasuki rumah
penduduk di Kamerun.
Lees tidak
mau kalah. Dia menceritakan, waktu kecil
ia bersama teman – teman
sekolahnya sering main
ke air terjun
di dekat rumahnya. Padahal air
terjun itu bermuara
di sungai habitatnya
buaya. Saya, someone special, Moo, dan Chan
melongo mendengar mereka
berbincang santai mengenai
mamalia dan reptil
buas itu.
“They
are not dangerous. Crocodile and lion be
a nice friend
for us. Rein, Chan, Gi, Moo, you
just know them
from television only,” katanya sambil
toast dengan
Lees. Saya, someone special, Moo, dan Chan masih melongo
hebat. Bersahabat dengan buaya
dan singa? Tidak, terima kasih!
Moo pun
bertanya kepada Lees
dan Claud, “If I give
you ten thousand
dollar Singapore, can we around Afrika?” tanya Moo
antusias. Hah? 10.000 SGD kalau
dirupiahkan bisa mencapai
95 juta! Mendekati 100
juta deh kira – kira. Dia mengatakan
hal itu dengan sangat
mudah dan dengan
wajah berseri – seri.
“Yes, you
can. We go to
Kenya, Tanzania, until Cape Town
or Egypt. We drive
a jeep to explore our
continent,” jelas Lees bersemangat.
“How
long time to
around your continent? I
must think my
forlough time as
designer too,” kata Moo
antusias.
“We
need long time
to drive a
jeep around our
continent. I think, six month
was enough,” jawab Claud. Moo
berpikir sejenak, kemudian menyetujuinya. Di tahun
2016 atau 2017
nanti, dia akan mengontak
Lees dan Claud
untuk mengajaknya mengelilingi
Afrika selama 6
bulan dengan mengendarai
jeep.
Saya dan someone
special berpandangan.
Mengendarai jeep mengitari
Afrika selama 6 bulan? Menarik sih, tapi
pekerjaan saya sebagai
jurnalis dan pekerjaan
pacar sebagai aparatur
pemerintah tidak akan memberikan
cuti sepanjang 6
bulan untuk mengarungi
Afrika! Chan pun demikian. Ia
hanya memiliki waktu
cuti paling lama
sebanyak 2 minggu. Itu
pun dia kemas
sebaik – baiknya agar bisa
menikmati waktu di
Indonesia dengan sebaik – baiknya pula. Pekerjaan kami
memang sesuai jadwal, bukan
pekerjaan fleksibel seperti
desainer yang akan
sibuk kalau ada
proyek datang, tidak sefleksibel
pelatih tarian hip
hop, atau seperti fotografer
freelance.
Malam semakin
larut. Gerai – gerai pun sudah
mulai tutup. Makanan kami
sudah tandas daritadi. Pun
dengan sugar cane. Gelas
kaca kami hanya
menampung sisa butir – butir es
dan lemon peras.
“Are
you drink?” tanya Moo
pada Lees, Chan, Claud, dan someone special. Saya paham
apa yang dimaksud
dengan ‘drink’ di
sini. Tentu saja dia
tidak bertanya kepada
saya, karena dia tahu
kalau saya pasti
menggelengkan kepala dan
nyengir lebar sambil
bilang, “Sorry, I’m not
drink”.
“Yes
we are,” jawab mereka
berempat bersamaan.
“Okay. I
want to take
my car in
apartement. We must deliver
Gi to Hamilton
Hotel, and we get
drink together,” ajak Moo. Keempat
laki – laki yang menjadi
‘guest’nya pun mengangguk
setuju. Chan menemani Moo
menuju apartemennya untuk
mengambil mobilnya, sementara saya, someone
special, Lees, dan Claud
tetap duduk di
tempat.
Sekitar 20
menit kemudian, Moo kembali
bersama mobilnya yang
sebesar Avanza. Chan duduk
di sebelahnya. Kami berempat
yang menunggu di
tempat jajanan naik
ke atas mobil
milik Moo.
“Have
you drink in
Zouk, Moo?” tanya someone
special yang duduk
persis di belakang
Moo.
Moo menoleh
ke arah someone special
dengan tatapan kaget
sekaligus kagum. “O
My God, you know
Zouk, Rein! I like this
place, “ucap Moo. Saya mengerutkan
kening. Zouk? Apa itu?
“I
have been there
3 years ago. Emm... but just past over
in front of
Zouk. After that, I
have a plan
to visit Zouk
once upon a
time,” kisah someone
special. Saya hanya senyam
senyum saja mendengar
pengakuan someone special barusan. Saya akhirnya
punya gambaran tentang
tempat dimaksud dengan
Zouk. Paling – paling tempat yang
semacam Legacy di
Bandung, Potato Head di
Bali, atau Exodus
di Jakarta, tempat nongkrong
favoritnya.
“After
deliver your girlfriend
into hotel, we must
go to Zouk,” cetus Moo.
![]() |
Zouk di Singapura |
Setelah tiba
di hotel, jam menunjukkan
pukul 00.34. Someone special mengantar
saya sampai ke
depan pintu kamar
dan memastikan bahwa
saya telah masuk
ke dalam kamar
dengan selamat. Ia pun
segera menuju ke
mobil Moo yang
menunggu di depan
hotel, kemudian menuju ke
Zouk di kawasan
Raffles Place.
Penulis: Gita Juniarti
0 comments:
Post a Comment